Nasional – Zakat merupakan harta yang dikeluarkan untuk orang yang berhak menerimanya. Terdapat 8 golongan yang berhak mendapatkan zakat, salah satunya orang yang banyak menanggung utang.
Orang yang banyak menanggung utang merupakan golongan yang berhak mendapatkan zakat yang dinamakan dengan gharim.
Menurut Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid I, gharim adalah orang yang mempunyai tanggungan utang yang banyak sehingga dia tidak bisa menyelesaikan utangnya. Bisa juga diartikan seseorang yang mempunyai utang demi kemaslahatan umum, walaupun dia bisa membayarnya.
Maka dari itu, para ulama berkata bahwa gharim itu dibagi menjadi dua macam, di antaranya:
1. Orang yang berutang untuk orang lain
2. Orang yang berutang untuk dirinya sendiri
Orang yang berutang untuk orang lain, misalnya orang yang berutang untuk perdamaian. Dicontohkan dengan adanya dua kabilah yang bertengkar dan bermusuhan. Lalu, ada orang kaya yang mendamaikan antara kedua kelompok itu dengan membayarkan sejumlah uang yang dijadikan syarat dalam perdamaian itu dan ia siap menanggungnya.
Di sini orang itu menjadi berutang, tetapi bukan untuk mendamaikan antara dua kelompok. Ulama berpendapat bahwa orang itu harus diberi zakat untuk membebaskan utangnya, walaupun dia kaya karena dia berutang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan kemaslahatan orang lain.
Syaikh DR Alauddin Za’tari dalam Fikih Ibadah Madzhab Syafi’i turut menjelaskan bahwa zakat hanya boleh diberikan kepada gharim yang fakir. Hal itu dikarenakan, tidak boleh memberikan harta zakat kepada gharim yang digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi sampai berbuat maksiat, seperti membeli khamr, berjudi, praktik riba, dan lain sebagainya.
Dijelaskan lebih lanjut, seorang yang berutang untuk kepentingan pribadinya, di mana ia masih kuat bekerja juga tidak boleh menerima zakat jika penghasilannya cukup untuk menutupi utangnya.
Selain itu, zakat boleh diberikan untuk membayar utang mayit jika harta warisan peninggalan si mayit tidak mencukupi untuk membayar utangnya, dan para ahli warisnya juga tidak sanggup membayarnya.
Jika orang yang punya utang menerima harta zakat dalam kapasitasnya sebagai gharim, ia hanya boleh menggunakannya untuk membayar utangnya saja. Tetapi, jika menerima harta tersebut dalam kapasitasnya sebagai orang fakir ia boleh menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pada dasarnya seorang gharim yang fakir atau seorang gharim yang miskin lebih berhak untuk menerima zakat daripada orang fakir atau orang miskin yang tidak sedang menanggung utang.
Boleh memberikan harta zakat kepada seorang gharim sebesar nilai tanggungan utangnya, baik sedikit atau banyak.
Jika harta zakat tersebut sudah dapat menutupi tanggungan utangnya, atau ia sudah kaya sebelum tanggungan utangnya dipenuhi, maka ia wajib mengembalikan harta zakat tersebut kepada pihak penguasa, atau kepada orang yang memberikannya.
Sementara itu dalam Kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur, Imam Syafi’i berkata, “Apabila zakat berjumlah 8.000, sementara para penerima zakat yang ada terdiri dari seorang fakir yang mendapat jatah zakat, seorang miskin yang mendapat jatah zakat, dan 100 orang dari golongan gharim dengan satu bagian jatah mereka ternyata tidak cukup untuk memenuhi satu orang dari mereka;
Lalu orang-orang yang berutang itu meminta agar golongan fakir dan golongan miskin hanya diberi sepertiga dari jatah mereka; karena mereka masing- masing berjumlah hanya satu orang, dan satu orang itu kurang dari batas minimal tiga orang untuk diberi seluruh jatah zakat, jika itu terjadi, maka permintaan itu tidak boleh dipenuhi. Karena mereka (golongan gharim) tidak berhak atas jatah fakir dan miskin selamanya; selama masih ada dari kalangan fakir dan miskin yang membutuhkan jatahnya. Jatah zakat bagi fakir dan miskin hanya dapat diserahkan kepada mereka, bahkan ketika hanya ada satu orang mereka yang membutuhkan itu.”
Dalil mengenai gharim sebagai salah satu orang yang berhak mendapatkan zakat bersandar pada firman Allah SWT dalam surah At Taubah ayat 60,
۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”/**detik